^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Ensiklik Arcanum - Leo XIII, 1880 - tentang Pernikahan Kristiani
SURAT ENSIKLIK
ARCANUM
Tentang Pernikahan Kristiani
dari Bapa Suci kita, Paus Leo XIII, dipermaklumkan pada tanggal 10 Februari 1880.
Kepada para Patriark, Primat, Uskup Agung, dan Uskup dunia Katolik dalam rahmat dan persekutuan dengan Takhta Apostolik.
Rancangan yang tersembunyi dari kebijaksanaan ilahi, yang Yesus Kristus, Juru Selamat manusia datang untuk laksanakan, memiliki tujuan berikut ini, yakni, oleh diri-Nya sendiri dan dalam diri-Nya sendiri, Ia harus memperbarui secara ilahi dunia, yang dahulu, kiasannya, sedang tenggelam bersama lamanya waktu, ke dalam kemerosotan. Rasul Paulus merangkum hal ini di dalam kata-kata yang agung dan tinggi sewaktu ia menulis kepada para umat di Efesus: Sehingga Ia dapat menyatakan misteri kehendak-Nya… untuk memperbarui di dalam Kristus segala sesuatu, baik yang di surga maupun yang di bumi.[1]
Pemulihan kembali aturan supernatural
Sewaktu Kristus, Tuhan kita, berupaya untuk melaksanakan tugas yang telah diberikan kepada-Nya oleh Bapa-Nya, Ia segera memberikan suatu bentuk serta kecantikan yang baru kepada segala hal, menghapuskan dampak-dampak dari masa lampau. Sebab Ia menyembuhkan luka-luka yang ditimbulkan oleh dosa dari bapa kita yang pertama kepada umat manusia; Ia membawa semua manusia, yang secara kodrati adalah anak-anak yang patut dimurkai, kembali ke dalam kemurahan hati Allah. Ia membawa, kepada terang kebenaran, manusia yang lelah akibat kesalahan yang sudah terjadi sejak lama; Ia memperbarui semua orang yang menjadi lemah akibat berbagai macam pelanggaran ke dalam kebajikan; dan, dengan memberikan kembali kepada mereka warisan sukacita yang tidak pernah berakhir, Ia menambahkan suatu harapan yang pasti bahwa tubuh mereka yang fana dan sementara akan kelak mengambil bagian di dalam imortalitas dan kemuliaan Surga. Agar manfaat-manfaat yang tidak tertandingi ini mungkin terus bertahan selama manusia terus berada di dunia, Ia memercayakan kepada Gereja-Nya keberlangsungan karya-Nya; dan, sebagai bekal untuk masa depan, Ia memerintahkan Gereja-Nya untuk memulihkan aturan di dalam masyarakat manusiawi di mana aturan itu mungkin telah terganggu, dan mengangkat siapa pun yang mungkin telah jatuh ke dalam kehancuran.
Banyak manfaat dianugerahkan kepada aturan alam sendiri baik bagi manusia secara individu maupun kepada Masyarakat luas…
Pembaruan ilahi tersebut, yang telah Kami bicarakan, berkenaan terutama dan secara langsung dengan para manusia yang ditetapkan dalam aturan rahmat supernatural. Tetapi, hasil-hasil yang berharga dan bermanfaat yang mengalir darinya juga dianugerahkan secara berlimpah dalam aturan alam. Maka, bukan hanya manusia secara individu, tetapi juga seluruh kumpulan umat manusia, telah dalam segala hal menerima suatu penyempurnaan yang besar. Sebab, sekalinya aturan Kristiani ditetapkan di dunia, setiap dan seluruh umat manusia memiliki kemampuan untuk mengenal penyelenggaraan Allah yang kebapaan, dan untuk terbiasa tinggal di dalamnya, dan untuk mengharapkan pertolongan surgawi dengan kepastian yang tidak dapat menipu. Dari sana, mengalirlah keteguhan, pengendalian diri, ketabahan, keselarasan dari pikiran yang penuh damai, bersama dengan berbagai kebajikan yang tinggi dan perbuatan-perbuatan yang mulia. Mengagumkan, memang, cakupan dari martabat, ketegaran, dan kebaikan yang diperoleh untuk Negara serta untuk keluarga. Otoritas para pemerintah menjadi lebih adil dan dihormati; rakyat menjadi lebih siap dan tidak merasa terpaksa untuk patuh; kesatuan dari warga negara menjadi lebih rekat; hak-hak dari penguasa menjadi lebih aman. Kenyataannya, agama Kristiani telah memikirkan dan menyediakan segala hal yang dipandang bermanfaat di dalam sebuah Negara; sedemikian rupa sehingga, menurut St. Agustinus, seseorang tidak dapat melihat bagaimana hal itu dapat menawarkan bantuan yang lebih besar dalam hal hidup dengan baik dan bahagia, jikalau agama itu telah diinstitusikan hanya untuk satu tujuan, untuk memperoleh dan meningkatkan hal-hal yang berkontribusi kepada kenyamanan dan manfaat bagi hidup manusia ini.
… dan terutama bagi rumah tangga
Namun, intensi Kami bukanlah untuk menghitung segala hal yang telah dilakukan dalam hal semacam itu. Kami hanya ingin berbicara tentang masyarakat keluarga, yang awal dan landasannya adalah Pernikahan.
Asal sejati dari Pernikahan, Saudara-Saudara yang Terhormat, telah dikenal dengan baik oleh semua orang. Orang-orang yang membenci iman Kristiani menolak untuk mengakui doktrin yang konstan dari Gereja tentang masalah ini. Mereka sejak lama ingin menghancurkan tradisi dari semua bangsa dan dari segala masa. Walaupun usaha-usaha telah mereka kerahkan, mereka tidak dapat mematikan ataupun memperlemah kekuatan dan cahaya dari kebenaran.
Pernikahan, suatu institusi ilahi yang memilki, sejak awalnya, dua ciri: kesatuan dan kelangsungan
Kami mencatat hal-hal yang diketahui oleh semua orang dan yang tidak diragukan oleh seorang pun, bahwa Allah, pada hari penciptaan yang keenam, setelah Ia menciptakan manusia dari lumpur bumi, dan setelah mengembuskan ke dalam wajahnya napas kehidupan, memberikan kepadanya seorang pendamping, yang secara mukjizat diambil-Nya dari sisi Adam sewaktu manusia itu tertidur. Dengan berbuat demikian, Allah menghendaki, dalam Penyelengaraan-Nya yang Mahatinggi, agar pasangan tersebut menjadi asal alami dari umat manusia, dan dari pasangan itu, umat manusia dapat menghasilkan keturunan dan dijaga oleh kesuburan di sepanjang masa depan. Untuk dapat menanggapi dengan lebih sempurna rancangan-rancangan Allah yang bijaksana, persatuan antara pria dan wanita itu pun hadir, sejak saat itu, dengan dua ciri terutama dan termulia di antara ciri yang lainnya, yang, kiasannya, terukir dan terbekas secara mendalam di dalam persatuan tersebut, yakni, kesatuan dan kelangsungan. Dari Injil, kita melihat dengan jelas bahwa doktrin ini telah dideklarasikan dan ditegaskan secara terbuka oleh otoritas ilahi Yesus Kristus. Ia memberikan kesaksian kepada orang-orang Yahudi dan para Rasul-Nya bahwa Pernikahan, atas dasar institusinya sendiri, hanya boleh terjadi antara dua orang, yakni antara pria dan wanita; bahwa mereka berdua dibuat ibaratnya menjadi satu daging; dan bahwa ikatan pernikahan dibuat sebegitu erat dan kuatnya oleh kehendak Allah sehingga tidak seorang pun dapat menghapuskannya ataupun menceraikannya. Oleh sebab itu, seorang pria akan meninggalkan bapa dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya, dan mereka berdua akan menjadi satu daging. Maka, sekarang mereka bukan lagi dua, melainkan satu daging. Oleh karena itu, apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia.[2]
Karakter primitif Pernikahan dikaburkan orang-orang Yahudi lewat poligami dan perceraian; dibejatkan oleh bangsa-bangsa dengan berbagai macam dosa
Bentuk pernikahan ini, walaupun begitu sempurna dan utama, mulai dibejatkan perlahan-lahan dan menghilang di antara para pagan. Hal itu bahkan menjadi kabur dan gelap di antara orang Yahudi. Memang, suatu adat ditetapkan di antara mereka, yang memperbolehkan setiap pria untuk memiliki lebih dari satu istri; dan pada akhirnya, oleh karena kerasnya hati mereka,[3] Musa sudi mengizinkan mereka untuk meninggalkan istri mereka. Demikianlah terbukanya jalan kepada perceraian.
Tetapi, pembejatan dan perubahan yang jatuh kepada Pernikahan di antara masyarakat pagan tampak hampir tidak dapat dipercaya. Pernikahan mengalami kecacatan yang sedemikian rupa, sehingga pernikahan itu menjadi budak terhadap kesesatan setiap orang serta hawa nafsu yang amat memalukan. Agaknya, semua bangsa tampak telah melupakan arti dan asal-muasal sejati dari pernikahan; dan oleh karena itu, hukum yang berkenaan dengan pernikahan dipermaklumkan di mana-mana, yang tampaknya didiktekan oleh alasan-alasan Negara, tetapi yang tidak sesuai dengan persyaratan alam. Ritus-ritus khidmat, yang dibuat sekehendak para pemberi hukum, mengatur agar para wanita diatribusikan suatu nama yang terhormat, yakni pengantin, atau nama yang hina, yakni selir; dan hal tersebut pun sampai kepada suatu titik di mana izin untuk menikah, atau penolakan izin tersebut, bergantung kepada kehendak para Kepala Negara, yang hukum-hukumnya bagitu bertentangan terhadap kesetaraan atau bahkan amat sangat tidak adil. Terlebih lagi, poligami, poliandri, serta perceraian menyebabkan pengenduran yang amat besar terhadap ikatan pernikahan. Maka, muncul pula kebingungan yang besar sehubungan dengan hak dan kewajiban timbal balik antara suami dan istri. Sang suami memperoleh istrinya bagaikan barang kepunyaan dan sering meninggalkannya tanpa alasan yang adil. Karena sang suami bebas (seperti yang dikatakan oleh St. Hieronimus) untuk ‘menyerahkan diri tanpa menerima hukuman kepada hawa nafsu yang tidak terkendalikan dan tidak terkekang, ia pun membiarkan dirinya sendiri untuk mengunjungi tempat-tempat yang buruk dan budak-budak perempuannya, seolah-olah kesalahan dibuat oleh martabat orang yang bersamanya ia berdosa, dan bukan oleh kehendak sang pendosa’.[4] Sewaktu ketidakbermoralan sang suami menunjukkan dirinya sendiri, tiada suatu hal pun yang lebih memilukan selain sang istri, yang tenggelam sedemikian dalamnya sehingga semata-mata dijadikan alat untuk memuaskan hawa nafsu, atau untuk menghasilkan keturunan. Tanpa suatu rasa malu pun, anak-anak perempuan yang dapat dinikahi, dibeli dan dijual, bagaikan barang dagangan;[5] dan kuasa terkadang diberikan kepada sang ayah atau sang suami untuk menjatuhkan hukuman mati kepada sang istri. Atas kebutuhan, keturunan dari pernikahan-pernikahan semacam itu dipandang sebagai barang persediaan untuk diperdagangkan bagi persemakmuran, atau disimpan sebagai properti sang ayah dari keluarga;[6] dan hukum mengizinkan sang ayah untuk membuat atau mengakhiri sekehendaknya pernikahan dari anak-anaknya, dan bahkan untuk melaksanakan terhadap mereka kekuatan yang menyeramkan atas kehidupan dan kematian.
Yesus Kristus memulihkan pernikahan kepada kondisi pertamanya dan meninggikannya kepada martabat suatu Sakramen
Walaupun terdapat begitu banyak kejahatan-kejahatan dan begitu besarnya aib yang menodai pernikahan, suatu keringanan dan obat telah sejak lama dianugerahkan dari atas. Yesus Kristus, yang memulihkan martabat manusiawi kita, dan yang menyempurnakan hukum Musa, memberikan perhatian yang besar kepada masalah Pernikahan. Ia memuliakan pernikahan di Kana di Galilea oleh kehadiran-Nya, dan membuatnya patut untuk dikenang lewat mukjizat pertama yang dilakukan-Nya:[7] dan untuk alasan ini, bahkan sejak hari itu, permulaan dari kesucian yang baru tampaknya telah dianugerahkan kepada pernikahan manusia. Kemudian, Ia mengembalikan pernikahan kepada kemuliaan asalnya, dengan mengutuk kebiasaan-kebiasaan orang-orang Yahudi yang menyalahgunakan pluralitas istri dan kuasa untuk memberikan surat perceraian; dan bahkan dengan memerintahkan dengan amat ketat agar tidak seorang pun berani menceraikan ikatan yang Allah sendiri telah sucikan oleh suatu ikatan yang tiada henti. Maka, setelah meniadakan kesulitan-kesulitan yang telah dikemukakan dari hukum Musa, Ia, sebagai Pemberi Hukum yang Tertinggi, mendekretkan hal berikut mengenai suami dan istri: Aku berkata kepadamu, bahwa barangsiapa akan menceraikan istrinya, kecuali karena zina, dan akan menikahi wanita lain, ia berbuat zina; dan barangsiapa akan menikahi wanita yang diceraikan, ia berbuat zina.[8]
Tetapi, apa yang didekretkan dan dikonstitusikan sehubungan dengan Pernikahan oleh otoritas Allah, telah secara lebih penuh dan lebih jelas diwariskan kepada kita, oleh tradisi dan Sabda yang Tertulis, lewat para Rasul, para pewarta hukum-hukum Allah. Memang, kepada para Rasullah, layaknya kepada para tuan kita, dirujukkan doktrin-doktrin yang para Bapa kita, Konsili-Konsili, dan Tradisi dari Gereja Universal telah selalu ajarkan:[9] yakni – bahwa Kristus Tuhan kita telah mengangkat pernikahan kepada martabat suatu Sakramen; bahwa kepada suami dan istri, yang dijaga dan diperkuat oleh rahmat ilahi yang jasa-jasa ilahi-Nya perolehkan bagi mereka, Ia memberikan kekuatan untuk mencapai kesucian di dalam keadaan pernikahan; dan bahwa, di dalam suatu cara yang mengagumkan, dengan membuat Pernikahan sebagai suatu contoh dari persatuan mistis antara diri-Nya dan Gereja-Nya, Ia bukan hanya menyempurnakan cinta yang sesuai dengan alam,[10] tetapi juga membuat persatuan alami satu pria dengan satu wanita menjadi jauh lebih sempurna lewat ikatan cinta kasih surgawi. Paulus berkata kepada para umat di Efesus: Suami, cintailah istrimu, sebagaimana Kristus juga mencintai Gereja, dan menyerahkan diri-Nya sendiri untuknya, agar Ia dapat menyucikannya…. Demikian pula para pria harus mencintai istri-istri mereka layaknya tubuh mereka sendiri…. Sebab tidak seorang pun pernah membenci dagingnya sendiri, tetapi memeliharanya dan menyayanginya, seperti pula Kristus memperlakukan Gereja-Nya; sebab kita adalah anggota dari tubuh-Nya, dari daging-Nya, dan dari tulang-belulang-Nya. Oleh sebab ini, seorang pria akan meninggalkan bapa dan ibunya, dan akan bersatu dengan istrinya, dan mereka berdua menjadi satu daging. Ini adalah suatu sakramen yang besar; tetapi aku berbicara di dalam Kristus dan di dalam Gereja.[11] Demikian pula, dari ajaran para Rasul, kita mengetahui bahwa kesatuan Pernikahan dan indisolubilitasnya yang tiada henti, yakni, kondisi-kondisi yang tidak tergantikan dari awal mulanya, haruslah, menurut perintah Kristus, suci dan tidak terjamah tanpa pengecualian. Paulus berkata kembali: Bagi mereka yang menikah, bukanlah aku, melainkan Tuhan, yang memerintahkan agar sang istri tidak meninggalkan suaminya; dan jika ia meninggalkan suaminya, agar ia tetap tidak menikah atau agar ia berdamai dengan suaminya.[12] Dan kembali: Seorang wanita terikat oleh hukum itu selama suaminya hidup; tetapi, jika suaminya mati, ia bebas.[13] Untuk alasan-alasan inilah pernikahan adalah suatu sakramen yang besar[14] dan harus dihormati dalam segala hal[15] sebagai suatu tipe dan simbol dari misteri-misteri yang tertinggi.
Suatu tujuan yang lebih tinggi digagaskan untuk hubungan perkawinan
Terlebih lagi, kesempurnaan dan kepenuhan dari Pernikahan tidak terdiri hanya dari hal-hal yang baru saja disebutkan.
Sebab, pertama-tama, kepada persatuan pernikahan telah dijaminkan suatu tujuan yang lebih tinggi dan mulia daripada yang sebelumnya diberikan kepadanya. Oleh perintah Kristus, persatuan pernikahan bukan hanya bertujuan untuk memperbanyak umat manusia, tetapi juga untuk melahirkan anak-anak bagi Gereja, kawan sewarga dengan para kudus, dan anggota-anggota keluarga Allah;[16] sehingga suatu bangsa dapat dilahirkan dan dibesarkan demi penyembahan dan agama terhadap Allah yang sejati dan Juru Selamat kita Yesus Kristus.[17]
Hak dan kewajiban timbal balik dari para suami dan para istri didefinisikan
Kedua, kewajiban timbal balik dari suami dan istri telah didefinisikan, dan hak-hak mereka telah didefinisikan. Mereka harus selalu memiliki perasaan yang sedemikian rupanya satu kepada yang lainnya sehingga mereka memiliki cinta kasih timbal balik yang amat besar, bersetia selamanya kepada kaul pernikahan mereka, dan selalu saling memberikan satu sama lain bantuan yang tidak egois. Suami adalah pemimpin dari keluarga, dan kepala dari sang istri. Sang wanita, karena ia adalah daging dari daging suaminya, dan tulang dari tulang suaminya, harus tunduk kepada suaminya dan patuh kepadanya; bukan, memang, sebagai seorang pelayan, tetapi sebagai seorang pendamping, sehingga kepatuhannya tidak pernah kekurangan kehormatan maupun martabat. Karena sang suami mewakili Kristus, hendaknya selalu ada, baik di dalam sang suami yang mengatur maupun di dalam sang istri yang menaati, cinta kasih yang berasal dari Surga yang memandu keduanya di dalam tugas mereka masing-masing. Sebab sang suami adalah kepala dari sang istri; sebagaimana Kristus adalah kepala dari Gereja…. Maka dari itu, seperti Gereja tunduk kepada Kristus, demikian pula hendaknya para istri tunduk kepada para suami mereka dalam segala hal.[18]
Otoritas orang tua di atas anak-anak mereka, dan penghormatan anak-anak yang wajib kepada orang tua mereka
Sehubungan dengan anak-anak, mereka harus patuh kepada orang tua mereka dan menaati mereka, dan memberikan mereka penghormatan demi hati nurani; sedangkan, di sisi lain, orang tua wajib memberikan segala perhatian dan pikiran yang penuh kewaspadaan terhadap pendidikan keturunan mereka dan dalam membesarkan mereka dalam kebajikan: Para bapa,… besarkanlah mereka (yakni, anak-anak anda) di dalam disiplin dan koreksi Tuhan.[19] Dari hal ini, kita melihat dengan jelas bahwa tanggung jawab para suami dan istri tidaklah sedikit maupun ringan; walaupun bagi orang-orang menikah yang baik, beban-beban ini bukan hanya menjadi tertahankan, tetapi juga menyenangkan, oleh karena kekuatan yang mereka dapatkan dari Sakramen tersebut.
Disiplin dari keadaan pernikahan yang dipercayakan oleh Kristus kepada Gereja, yang telah secara konstan melaksanakan kuasa yang diberikan secara ilahi ini, dan yang telah menyediakan lewat hukum-hukumnya kesucian dan perlindungan yang layak bagi pernikahan
Maka, karena Kristus telah membawa Pernikahan kepada kesempurnaan yang begitu besar, Ia menyerahkan dan memercayakan semua disiplin yang berkenaan dengan hal-hal tersebut kepada Gereja-Nya. Gereja selalu dan di mana-mana, telah demikian menggunakan kuasanya sehubungan dengan pernikahan orang-orang Kristiani, sehingga manusia telah melihat dengan jelas bagaimana Gereja memiliki hak asli atas pernikahan. Pernikahan tidaklah dibuat menjadi milik Gereja oleh anugerah manusia mana pun, melainkan diberikan kepada Gereja oleh kehendak Pendirinya. Perhatiannya yang konstan dan waspada untuk menjaga pernikahan, dengan mempertahankan kesuciannya, dimengerti dengan begitu baik sehingga tidak diperlukan bukti. Kita semua mengetahui bahwa penghakiman Konsili Yerusalem mengutuk cinta bejat dan bebas;[20] dan juga orang di Korintus yang melakukan inses dikutuk oleh otoritas Paulus yang terberkati.[21] Kembali, pada awal dari Gereja Kristiani, telah terhalaukan dan terkalahkan, dengan keteguhan yang tidak kunjung padam, upaya-upaya dari banyak orang untuk menghasilkan kehancuran Pernikahan Kristiani, seperti dari para Gnostik, Manikhean, dan Montanis; dan pada masa kita, para Mormon, St. Simonian, Phalansterian, dan Komunis.
Demikian pula, selain itu, suatu hukum Pernikahan yang adil bagi semua orang, dan sama bagi semua orang, telah dicanangkan lewat dihapuskannya perbedaan lama antara para budak dan pria serta wanita yang terlahir bebas; dan, oleh karena itu, hak-hak dari para suami dan istri dibuat setara: sebab, seperti yang dikatakan oleh St. Hieronimus, ‘dengan kita, hal yang tidak sah bagi para wanita juga tidak sah bagi para pria, dan batasan yang sama diberlakukan dengan kondisi-kondisi yang sama’.[22] Hak-hak tersebut juga ditetapkan secara kokoh untuk kemesraan timbal balik dan untuk saling berbagi tugas. Martabat wanita dituntut dan dijamin. Sang pria dilarang untuk menghukum sang istri yang berzina dan untuk melanggar kaulnya demi memuaskan hawa nafsunya dan berbuat sundal.
Dan, hal yang juga amat penting adalah bahwa Gereja membatasi, sejauh mana diperlukan, kuasa dari para bapa di dalam keluarga, sehingga anak-anak laki-laki dan perempuan yang hendak menikah, sama sekali tidak dirampas dari kebebasan mereka yang layak; sehingga, dalam tujuan untuk menyebarkan dengan lebih luas cinta supernatural antara para suami dan istri. Gereja telah mendekretkan pernikahan-pernikahan di dalam derajat-derajat konsanguinitas atau pertalian keturunan tertentu sebagai batal demi hukum. Gereja telah berusaha sekeras mungkin untuk melindungi Pernikahan dari kesalahan dan kekerasan serta penipuan. Gereja telah selalu berharap untuk mempertahankan kemurnian yang kudus dari ranjang pernikahan, hak-hak pribadi, kehormatan dari suami dan istri, dan keamanan agama.
Akhirnya, dengan kuasa yang demikian dan dengan tinjauannya kepada masa depan dalam hal legislasi, Gereja telah menjaga institusi ilahi ini sehingga tidak seorang pun yang berpikir dengan benar tentang hal-hal ini dapat gagal untuk melihat bagaimana, sehubungan dengan Pernikahan, Gereja adalah penjaga dan pembela yang terbaik bagi umat manusia; dan bagaimana dengan kebijaksanaannya, Gereja telah melangkah dengan jaya dari arus waktu, dari serangan-serangan manusia, dan dari perubahan-perubahan peristiwa publik yang tidak terhitung jumlahnya.
Para Rasionalis telah berupaya untuk merampas Pernikahan dari kendali Gereja, dan memperlakukannya semata-mata sebagai suatu institusi manusiawi
Tetapi, akibat usaha-usaha musuh utama dari umat manusia, terdapat orang-orang yang, dengan durhakanya mencampakkan begitu banyak berkat yang lain dari Penebusan, juga membenci atau sama sekali mengabaikan pemulihan Pernikahan kepada kesempurnaan awalnya. Memalukan bagi orang-orang terdahulu bahwa mereka menunjukkan diri mereka sendiri sebagai musuh Pernikahan dalam beberapa hak istimewa Pernikahan. Tetapi, betapa lebih berbahayanya kesesatan orang-orang yang, para zaman ini, ingin sepenuhnya membejatkan kodrat Pernikahan yang sempurna dan penuh di dalam segala hubungan dan pihak-pihaknya! Alasan utama bahwa mereka bertindak demikian adalah bahwa begitu banyak orang, yang meneguk semboyan-semboyan dari suatu filsafat sesat dan yang moralnya bejat, sama sekali membenci kepatuhan dan ketaatan. Maka, mereka berjuang dengan ganas untuk membawa, bukan hanya individu-individu, tetapi juga keluarga dan seluruh masyarakat manusiawi, untuk membenci kedaulatan Allah dengan penuh keangkuhan.
Tetapi, karena kebanyakan keluarga dan masyarakat manusiawi berasal dari Pernikahan, orang-orang ini sama sekali tidak akan mengizinkan pernikahan untuk menjadi tunduk kepada yurisdiksi Gereja. Memang, mereka berjuang untuk merampasnya dari segala kesucian dan membuatnya masuk ke dalam lingkup yang sempit dari hak-hal yang, karena telah diinstitusikan oleh manusia, diatur dan dikelola oleh yurisprudensi sipil dari komunitas. Oleh karena itu, mereka mengatribusikan segala kuasa atas Pernikahan kepada para pemimpin sipil, dan sama sekali tidak memberikan kuasa kepada Gereja; dan sewaktu Gereja melaksanakan kuasa apa pun yang demikian, mereka berpikir bahwa Gereja bertindak dengan dukungan otoritas sipil atau untuk mencelakakan otoritas sipil. Inilah saatnya, mereka berkata, bagi para Kepala Negara untuk menuntut hak-hak mereka tanpa gentar, dan mulai mengatur dengan bebas segala hal yang berhubungan dengan masalah pernikahan.
Demikianlah asal dari hal yang kita sebut secara umum sebagai pernikahan sipil; maka, dibentuklah hukum-hukum yang memberlakukan halangan-halangan terhadap Pernikahan. Itulah asal hukuman yudisial yang memengaruhi kontrak Pernikahan, sehubungan dengan bilamana Pernikahan itu telah dibuat secara benar. Pada akhirnya, dapat dilihat bahwa segala kekuatan untuk membuat hukum atau menghakimi masalah ini telah dengan sepenuhnya dirampas dari Gereja, sehingga orang tidak lagi mengindahkan otoritas ilahi Gereja, maupun hukum-hukumnya yang dibentuk secara berhati-hati di bawah pemerintahan di mana rakyat, yang telah hidup begitu lamanya, menerima dengan kebijaksanaan Kristiani terang peradaban.
Tetapi, hak Gereja untuk mengendalikan Pernikahan terlihat dari karakter suci yang inheren di dalamnya sejak saat pertama Pernikahan diinstitusikan…
Bagaimanapun, mereka semua yang menolak hal-hal supernatural, dan juga mereka semua yang mengaku bahwa mereka menyembah, di atas segala hal, keilahian Negara, dan berjuang untuk mengganggu seluruh komunitas dengan doktrin-doktrin jahat semacam itu, tidak dapat lolos dari tuduhan delusi. Pernikahan itu diciptakan oleh Allah, dan sejak awal mulanya, merupakan suatu jenis pertanda akan Penjelmaan Putra-Nya; dan oleh karena itu, terdapat di dalam Pernikahan, sesuatu yang kudus dan religius; bukan bersifat asing, melainkan bawaan; tidak berasal dari manusia, tetapi ditanamkan oleh alam. Maka, Inosensius III dan Honorius III para pendahulu Kami, menegaskan tidak secara salah maupun gegabah, bahwa terdapat suatu kesucian dari ritus-ritus pernikahan bahkan di antara umat beriman dan orang-orang yang tidak beriman.[23] Demikianlah kesaksian-kesaksian dari zaman dahulu, serta adat dan kebiasaan dari orang-orang yang, karena mereka paling beradab, memiliki pengetahuan yang terbesar akan hukum dan keadilan. Adalah suatu kepastian bahwa di dalam benak mereka semua, oleh karena suatu pengertian bawaan yang lazim, ide tentang pernikahan membangkitkan secara spontan di dalam pikiran, pengertian tentang suatu hal yang berhubungan dengan agama dan kesucian. Mereka juga terbiasa untuk tidak menyelenggarakan pernikahan tanpa upacara-upacara keagamaan, otoritas Imam agung, dan pelayanan para imam. Sungguh kuat, bahkan di dalam jiwa-jiwa yang tidak mengenal doktrin surgawi, kekuatan alam itu, tentang asal dari pernikahan, dan tentang hati nurani umat manusia. Maka, karena Pernikahan itu suci oleh karena kekuatannya sendiri, dalam kodratnya, dan dalam dirinya sendiri, Pernikahan tidak boleh diatur dan dikelola oleh kehendak para pemimpin sipil, tetapi oleh otoritas ilahi Gereja, satu-satunya yang menguasai pengajaran tentang hal-hal suci.
…oleh martabat suatu sakramen yang dikehendaki oleh Kristus untuk diterapkan kepada Pernikahan bersama dengan persetujuan para pangeran Kristiani
Selanjutnya, martabat Sakramen itu harus dipertimbangkan pula. Karena martabat Sakramen ditambahkan kepada Pernikahan Kristiani, Pernikahan Kristiani pun menjadi yang termulia dari antara segala ikatan pernikahan. Tetapi, oleh kehendak Yesus Kristus, Gerejalah satu-satunya yang dapat dan harus mendekretkan dan memerintah sehubungan dengan Sakramen tersebut. Oleh karena itu, sama sekali absurd untuk menyatakan bahwa bahkan sebagian kecil pun dari kuasa tersebut telah dipindahkan kepada penguasa sipil.
Akhirnya, kesaksian sejarah di sini sangatlah penting dan berbobot. Sejarah menunjukkan secara jelas bahwa kekuatan legislatif dan yudikatif, yang Kami bicarakan, telah selalu dilaksanakan dengan bebas oleh Gereja, walaupun di dalam waktu di mana beberapa orang dengan bodohnya menganggap bahwa Kepala Negara telah setuju atau bersekongkol dalam hal tersebut. Contohnya, akan menjadi sulit dipercaya dan sungguh absurd untuk berasumsi bahwa Kristus Tuhan kita mengutuk praktik poligami dan perceraian yang telah berlaku sejak lama lewat otoritas yang diberikan kepada-Nya oleh jaksa provinsi, atau pemimpin utama bangsa Yahudi. Dan akan sama luar biasanya untuk berpikir bahwa Rasul Paulus mengajarkan bahwa perceraian dan pernikahan inses tidak sah, oleh karena Tiberius, Caligula, dan Nero setuju dengannya atau secara rahasia memerintahkan kepadanya untuk mengajarkan hal yang demikian. Tidak seorang pun yang waras dapat pernah menjadi yakin bahwa Gereja membuat begitu banyak hukum tentang kesucian dan indisolubilitas Pernikahan, dan pernikahan-pernikahan para budak dengan orang yang terlahir bebas, oleh kuasa yang diberikan oleh para Kaisar Romawi yang sungguh tidak bersahabat kepada umat Kristiani, yang memiliki keinginan terkuat untuk menghancurkan lewat kekerasan dan membunuh Gereja Kristus yang sedang berkembang. Hal ini bahkan menjadi lebih jelas karena hukum yang ditetapkan oleh Gereja terkadang begitu bertentangan dengan hukum sipil, sehingga Ignatius sang Martir,[24] Yustinus,[25] Athenagoras,[26] dan Tertulianus[27] mencela secara publik, sebagai hal yang tidak licit dan sebagai perzinaan beberapa persatuan yang bagaimanapun didukung oleh hukum-hukum para pemerintah.
Selebihnya, setelah segala kekuatan telah jatuh ke tangan para Kaisar Kristiani, para Paus penguasa dan para uskup yang berhimpun di dalam Konsili-Konsili berteguh, dengan kemerdekaan dan kesadaran akan hak-hak mereka, untuk memerintahkan atau membela, sehubungan dengan Pernikahan, apa pun yang mereka nilai sebagai berguna atau baik untuk saat itu, betapapun hal itu mungkin tampak bertentangan dengan hukum-hukum Negara. Adalah suatu hal yang diketahui dengan baik bahwa, sehubungan dengan impedimen-impedimen yang berasal dari ikatan pernikahan, kaul, perbedaan tata cara ibadat, konsanguinitas, kriminalitas, dan kejujuran publik, banyak dekret dikeluarkan oleh para pemimpin Gereja di dalam konsili-konsili di Granada, Arles, Kalsedon, Konsili Milevum yang kedua, dan berbagai konsili-konsili lainnya, yang sering amat berbeda dari dekret-dekret yang disetujui oleh hukum Kekaisaran. Terlebih lagi, para pangeran sungguh tidak merampas kuasa apa pun dalam hal Pernikahan Kristiani, sebaliknya, mereka mengakui dan menyatakan bahwa Pernikahan secara eksklusif, di dalam seluruh kepenuhannya, dimiliki oleh Gereja. Kenyataannya, Honorius, Theodosius Junior, Yustinianus tidak ragu-ragu untuk mengakui bahwa dalam hal-hal yang berhubungan dengan Pernikahan, satu-satunya kuasa yang mereka miliki adalah untuk bertindak sebagai pelindung dan pembela Kanon-Kanon Suci. Jika suatu saat pun mereka mencanangkan hal apa pun oleh maklumat-maklumat mereka sehubungan dengan impedimen-impedimen pernikahan, mereka secara sukarela menjelaskan alasannya, sambil menegaskan bahwa mereka mengemban tugas untuk bertindak, oleh izin dan otoritas dari Gereja. Selain itu, kepada penghakiman Gerejalah mereka terbiasa untuk mencari bantuan atau tunduk dengan hormat dalam kontroversi-kontroversi yang berhubungan dengan legitimitas kelahiran serta perceraian; dan juga di dalam segala poin-poin yang memiliki hubungan apa pun yang pasti dengan ikatan pernikahan. Maka, Konsili Trente memiliki hak yang paling jelas untuk mendefinisikan bahwa Gereja memiliki kekuatan ‘untuk menetapkan impedimen-impedimen diriment dari pernikahan’, dan bahwa ‘perkara-perkara pernikahan adalah perkara hakim-hakim gerejawi’.[28]
Di dalam Pernikahan Kristiani, kontrak Pernikahan tidak terpisahkan dari sakramen Pernikahan
Hendaknya tidak seorang pun tersesatkan oleh perbedaan, yang oleh ditekankan secara kuat oleh beberapa pembuat hukum Pengadilan – perbedaan yang mereka gunakan untuk memisahkan kontrak perkawinan dari Sakramen Pernikahan, dengan maksud untuk menyerahkan kontrak tersebut kepada kuasa dan kehendak para pemimpin Negara, sedangkan menjaga hal-hal yang berhubungan dengan Sakramen kepada Gereja. Suatu perbedaan, atau lebih benarnya, pemisahan semacam ini tidak boleh disetujui: sebab di dalam Pernikahan Kristiani, kontrak perkawinan secara pasti tidak terpisahkan dari Sakramen Pernikahan; dan bahwa, untuk alasan ini, kontrak tersebut tidak mungkin dapat menjadi benar dan legitim tanpa juga menjadi Sakramen. Sebab Kristus Tuhan kita menambahkan kepada Perknikahan martabat suatu Sakramen; tetapi Pernikahan adalah kontrak itu sendiri, manakala kontrak itu dilakukan seturut hukum.
Selain itu, Pernikahan adalah suatu Sakramen karena merupakan suatu tanda yang suci yang memberikan rahmat, yang menunjukkan suatu gambaran perkawinan mistis Kristus dengan Gereja. Tetapi, bentuk dan gambaran dari perkawinan ini ditunjukkan secara persis oleh ikatan yang persatuan yang begitu erat tersebut di mana pria dan wanita terikat bersama menjadi satu. Ikatan itu sendiri adalah pernikahan. Maka, jelas bahwa di antara orang-orang Kristiani, setiap pernikahan sejati, dengan sendirinya dan oleh karena hal itu sendiri, adalah suatu Sakramen. Tiada suatu hal yang lebih bertentangan dengan kebenaran selain dengan menganggap bahwa Sakramen itu adalah suatu jenis upacara tambahan, atau suatu karakter ekstrinsik yang dapat dipisahkan atau dicabut dari kontraknya sekehendak manusia. Maka, tidaklah dapat ditunjukkan oleh akal, maupun oleh kesaksian sejarah, bahwa kuasa atas pernikahan orang-orang Kristiani pernah sekali pun diserahkan secara sah kepada para pemimpin Negara. Jika, dalam hal ini, hak seorang pun pernah dilanggar, tidak seorang pun dapat secara benar berkata bahwa hak itu dilanggar oleh Gereja.
Pertimbangan atas kejahatan-kejahatan yang timbul dari pernikahan-pernikahan yang najis
Jika saja doktrin para rasionalis tidak sebegitu suburnya membawa bencana dan keburukan serta penuh dengan kebohongan dan ketidakadilan! Tetapi mudah untuk dilihat sekilas besarnya kejahatan yang dibawa oleh pernikahan-pernikahan yang tidak suci, dan yang akan pernah dibawakannya, kepada seluruh umat manusia.
Menurut suatu hukum yang ditetapkan secara ilahi sejak awalnya, institusi-institusi yang telah dibuat oleh Allah dan Alam menjadi bagi kita lebih berguna dan bermanfaat karena institusi-institusi tersebut tetap utuh dan tidak berubah dalam keadaannya sejak zaman dahulu. Allah, Pencipta segala hal, yang mengetahui apa yang baik bagi institusi dan kelestarian setiap ciptaan-Nya, memerintahkan institusi dan kelestarian tersebut, oleh kehendak-Nya dan pikiran-Nya agar masing-masing dapat mencapai dengan cukup akhir yang ditetapkan untuknya. Jika kelancangan atau kefasikan manusia ingin mengubah dan mengganggu aturan dari hal-hal yang telah ditetapkan dengan Penyelenggaraan yang begitu mengagumkan, maka, institusi-institusi yang telah dirancang dengan begitu bijaksana dan bermanfaat itu akan menjadi berbahaya atau tidak lagi berguna, sebagian karena perubahan yang dialaminya yang membuatnya kehilangan kekuatan untuk menghasilkan manfaat, dan sebagian karena Allah memilih untuk menjatuhkan hukuman kepada kecongkakan dan kelancangan manusia. Tetapi, orang-orang yang menyangkal kesucian Pernikahan, yang menurunkan martabatnya sehingga kehilangan kesuciannya, dan menempatkan Pernikahan di antara hal-hal yang profan, memutarbalikkan dasar-dasar dari alam. Mereka bukan hanya menentang rancangan-rancangan Penyelenggaran ilahi, tetapi, sejauh mana mereka dapat, mereka menghancurkan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Maka, tidak seorang pun seharusnya bertanya-tanya bilamana dari upaya-upaya yang demikian gila dan nistanya itu, muncul kejahatan-kejahatan yang amat sangat berbahaya baik bagi keselamatan jiwa-jiwa maupun bagi keamanan masyarakat.
Jika kita mempertimbangkan tujuan dari institusi ilahi Pernikahan, Allah jelas telah menghendaki untuk menjadikannya sebagai sumber kebaikan dan kesejahteraan publik yang begitu berlimpah. Memang, Pernikahan, yang bertujuan untuk memperbanyak umat manusia, juga memiliki tujuan untuk membuat kehidupan para pasangan menjadi lebih baik dan bahagia. Pernikahan melakukan hal tersebut dengan beberapa cara: dengan meringankan beban satu sama lain lewat bantuan timbal balik; lewat cinta yang konstan dan setia; dengan memiliki segala barang kepunyaan mereka bersama; dan lewat rahmat ilahi yang mengalir dari Sakramen tersebut. Pernikahan juga dapat memberi banyak kebaikan kepada keluarga: sebab, selama Pernikahan itu selaras dengan alam dan sesuai dengan nasihat-nasihat Allah, Pernikahan memiliki kekuatan untuk memperkuat kesatuan hati orang tua; untuk menjamin pendidikan suci anak-anak; untuk mengendalikan kekuasaan sang bapak oleh teladan ilahi; untuk menjadikan anak-anak patuh kepada orang tua mereka, dan para pelayan patuh kepada tuan mereka. Dari pernikahan-pernikahan semacam itu, Negara dapat dengan benar menantikan warga negara yang tergerak oleh semangat yang baik dan dipenuhi oleh rasa hormat dan cinta akan Allah, yang mengakui sebagai tanggung jawab mereka untuk mematuhi orang-orang yang memimpin secara adil dan sah, untuk mencintai semua orang, dan untuk tidak melukai seorang pun.
Buah-buah yang banyak dan mulia ini sungguh adalah hasil dari Pernikahan, selama Pernikahan tersebut tetap mempertahankan karunia-karunia kesucian, kesatuan, dan indisolubilitas, yang menghasilkan segala kekuatan yang subur dan menyelamatkan. Tidak pun seseorang dapat meragukan bahwa Pernikahan akan selalu telah menghasilkan buah-buah semacam itu, di setiap waktu dan di semua tempat, jika Pernikahan itu telah berada di bawah kekuatan dan penjagaan dari Gereja, yang terpercaya mempertahankan dan melindungi karunia-karunia ini. Tetapi, terdapat suatu keinginan yang meluas untuk menggantikan hukum alam dan ilahi dengan hukum manusia. Sejak saat itu, idaman Pernikahan, yang terbekaskan dan bagaikan suatu meterai oleh alam di atas jiwa manusia, mulai punah secara perlahan-lahan. Selain itu, di dalam pernikahan orang-orang Kristiani sendiri, sumber kebaikan-kebaikan besar yang begitu berlimpah itu pun menjadi lemah oleh karena kejahatan manusia. Manfaat apa yang diperoleh, jika suatu Negara dapat menginstitusikan perkawinan yang terpisahkan dari agama Kristiani, yang adalah ibunda dari segala hal yang baik, yang menyayangi segala kebajikan yang tertinggi, yang membangkitkan dan membawa kita kepada keagungan dari jiwa yang mulia dan murah hati? Sewaktu agama Kristiani ditolak dan disingkirkan, pernikahan secara pasti tenggelam ke dalam perbudakan oleh kodrat manusia yang buruk serta nafsunya yang hina, dan tidak mendapatkan perlindungan yang mujarab dari kebaikan alami. Suatu banjir kejahatan telah mengalir dari mata air ini, bukan hanya kepada keluarga-keluarga pribadi, tetapi juga ke dalam Negara. Sebab, sewaktu rasa takut yang baik terhadap Allah telah hilang, dan sewaktu tiada lagi penghiburan terhadap rintangan-rintangan hidup yang tidak dapat diperoleh dengan begitu banyaknya selain di dalam agama Kristiani, hal yang sering terjadi, seperti yang jelas dari kenyataannya, bahwa tugas dan kewajiban dari pernikahan tampak hampir tidak tertahankan. Terlalu banyak orang yang, karena mereka menilai bahwa hubungan kontrak itu bergantung atas kehendak dan hak yang sepenuhnya manusiawi, merasakan keinginan untuk mematahkan hubungan tersebut sewaktu ketidakcocokan karakter, atau perselisihan, atau ketidaksetiaan dari salah seorang pasangan, atau persetujuan timbal balik, atau alasan-alasan lain membuat mereka bertekad untuk memperoleh kembali kebebasan mereka. Lalu, jika mereka dihalangi oleh hukum sehingga tidak dapat melaksanakan keinginan yang memalukan tersebut, mereka berseru bahwa hukum itu tidak adil, tidak manusiawi, bertentangan dengan hak warga negara bebas, dan menambahkan bahwa segala upaya harus dilakukan untuk menghapuskan undang-undang semacam itu, dan untuk memperkenalkan suatu hukum yang lebih manusiawi yang mengizinkan perceraian.
Hal-hal ini telah menuntun kepada hukum perceraian, suatu sumber kejahatan baru yang begitu banyak, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman
Tetapi, betapapun besarnya harapan para pembuat hukum pada masa kini yang mungkin menjaga diri mereka sendiri terhadap kefasikan orang-orang semacam itu yang telah Kami bicarakan, mereka tidak sanggup melakukannya, karena mereka mengaku bahwa mereka percaya dan membela prinsip-prinsip yurisprudensi yang sama; dan oleh karena itu, mereka harus menyesuaikan diri terhadap waktu dan membuat perceraian dapat dilakukan dengan lebih mudah. Sejarah sendiri menunjukkan hal ini; contohnya, pada akhir dari abad yang lalu. Perceraian diizinkan oleh hukum di dalam Revolusi, atau lebih benarnya, Penghancuran di Prancis, sewaktu masyarakat seutuhnya diperkejikan dengan mengusir Allah. Banyak orang pada masa kini menginginkan agar hukum-hukum semacam itu dicanangkan kembali, sebab mereka ingin agar Allah dan Gereja-Nya diasingkan dan disingkirkan dari antara masyarakat manusiawi. Mereka dengan gila berpikir bahwa di dalam hukum-hukum semacam itu, suatu obat terakhir harus dicari untuk pembejatan moral yang semakin membesar.
Memang, hampir tidak mungkin untuk mendeskripsikan betapa besarnya kejahatan-kejahatan yang mengalir dari perceraian. Perceraian, membuat kontrak perkawinan menjadi dapat dibatalkan; memperlemah kebaikan timbal balik; memberikan dorongan untuk melakukan ketidaksetiaan; membahayakan pendidikan dan pelatihan anak-anak; menjadi suatu hal yang menuntun kepada perpecahan rumah tangga; menyebarkan bibit perselisihan antara keluarga-keluarga; merendahkan martabat wanita, dan menghasilkan risiko di mana para wanita ditinggalkan setelah melayani kepuasan para pria. Maka, karena tiada suatu hal pun yang memiliki kekuatan yang demikian besarnya untuk merusakkan keluarga dan menghancurkan kekuatan Negara selain pembejatan moral, mudah untuk dilihat bahwa perceraian sungguh bertentangan terhadap kesejahteraan keluarga dan Negara. Memang, perceraian itu berasal dari dari kebejatan moral rakyat dan seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman, membuka suatu jalan kepada segala jenis kejahatan di dalam kehidupan baik publik maupun pribadi.
Kejahatan-kejahaan tersebut tampak bahkan lebih berat jika kita mempertimbangkan bahwa sekalinya kebebasan untuk bercerai dianugerahkan, tidak akan pernah ada halangan yang cukup kuat untuk mengekangnya dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan dan direncanakan terlebih dahulu. Memang, pengalaman memiliki kekuatan yang besar, dan lebih besar lagi kekuatan hawa nafsu. Dengan dorongan-dorongan semacam itu, pastilah terjadi selanjutnya bahwa hasrat untuk bercerai, yang menyebar setiap hari oleh cara-cara yang jahat, akan merenggut pikiran banyak orang bagaikan penyakit berjangkit, atau bagaikan banjir air yang membobol setiap bendungan. Ini adalah kebenaran-kebenaran yang sungguh jelas dengan sendirinya; tetapi kebenaran-kebenaran tersebut akan menjadi lebih jelas, jika kita mengingat ajaran-ajaran dari pengalaman. Segera setelah jalan untuk perceraian mulai dipermudah oleh hukum, segera pertikaian, kedengkian, dan perpisahan yuridis meningkat pesat. Alhasil, suatu pembejatan yang demikian besarnya sehingga orang-orang yang telah sebelumnya menjadi pembela perceraian datang untuk bertobat dari apa yang telah mereka lakukan, dan menakuti bahwa, jika mereka tidak berhati-hati mencari obat dengan menghapuskan hukum tersebut, Negara sendiri mungkin akan runtuh.
Orang-orang Romawi zaman dahulu dikatakan amat menakuti kasus-kasus perceraian pertama. Tetapi, sentimen kejujuran segera hancur di dalam jiwa mereka. Rasa malu, pengekang hawa nafsu, menghilang. Kaul pernikahan pun begitu seringnya dilanggar, sehingga apa yang telah ditegaskan oleh beberapa penulis akan tampak menjadi nyata – yakni, bahwa wanita sering menghitung berjalannya tahun bukan oleh perubahan Konsul, melainkan suami-suami mereka.
Demikian pula, sejak awal mulanya, para Protestan mengizinkan hukum perceraian di dalam beberapa kasus yang langka. Tetapi, segera diakui dari kemiripan berbagai keadaan yang serupa, jumlah perceraian meningkat sedemikian rupa di Jerman, Amerika, dan di tempat lain, sehingga para cendekiawan mengeluhkan pembejatan moral yang tidak terbatas, dan menilai kegegabahan hukum-hukum yang sederhananya tidak dapat ditolerir.
Bahkan di dalam Negara-Negara Katolik, terdapat kejahatan yang serupa. Sebab, setiap kali perceraian diperkenalkan, begitu banyaknya sengsara yang terjadi setelahnya jauh melampaui apa yang mungkin telah dapat diperkirakan oleh para pembuat hukum. Kenyatannya, banyak orang berupaya untuk menggagaskan segala jenis penipuan dan siasat, dan oleh tuduhan kekejaman, kekerasan, dan perzinaan, memalsukan alasan-alasan untuk penghapusan ikatan perkawinan yang telah membuat mereka muak; dan semua hal ini menyebabkan kehancuran yang begitu besar terhadap moralitas sehingga suatu amendemen hukum dianggap perlu secara mendesak.
Maka, dapatkah seseorang meragukan bahwa hukum-hukum yang mendukung perceraian akan memiliki suatu hasil yang sama buruknya dan sedemikian merusak jika hukum-hukum tersebut diberlakukan pada masa kini? Rekayasa dan dekret-dekret manusia tidak akan memiliki kekuatan untuk mengubah karakter dan kecenderungan hal-hal yang diperoleh dari alam. Manusia-manusia tersebut, oleh karena sangat tidak mengerti kebaikan publik, mereka yang percaya dapat menjungkirbalikkan tanpa konsekuensi kondisi esensial dari pernikahan, dan yang, dengan menganggap rendah kesucian yang lekat dengan pernikahan oleh agama dan Sakramen, tampak berkehendak untuk semakin merendahkan dan menjatuhkan kesucian tersebut sehingga bahkan melampaui ketetapan hukum pagan. Jika mereka tidak berubah pikiran, keluarga dan masyarakat manusiawi akan selalu memiliki ketakutan untuk jatuh dengan sengsara ke dalam konflik dan kehancuran universal, yang telah direncanakan sejak lama oleh sekte-sekte kriminal, yakni para Sosialis dan Komunis.
Maka, kita melihat dengan amat jelas betapa bodohnya dan betapa tidak masuk akalnya untuk mengharapkan kebaikan publik apa pun dari perceraian, sewaktu, sebaliknya, perceraian itu menuntun kepada kehancuran yang pasti dari masyarakat.
Gereja, oleh karena perhatiannya untuk melindungi kesucian dan kelangsungan keadaan pernikahan, patut diperlakukan dengan baik oleh segala bangsa.
Maka, harus diakui bahwa Gereja Katolik telah patut mendapatkan perlakuan yang baik dari semua orang, oleh karena perhatian yang diberikannya secara konstan untuk melindungi kesucian dan indisolubilitas Pernikahan. Kepada Gerejalah orang-orang berutang rasa syukur yang besar atas campur tangannya. Gereja telah dengan lantang menentang hukum-hukum sipil yang begitu cacat dalam hal tersebut, yang telah dipermaklumkan sejak seratus tahun lamanya.[29] Gereja telah menghukum dengan anatema bidah yang keji dari para Protestan tentang perceraian dan perpisahan.[30] Gereja telah mengutuk beberapa kali kasus-kasus tertentu penghapusan pernikahan yang sering terjadi di antara orang-orang Yunani.[31] Gereja telah mengumumkan batalnya pernikahan-pernikahan yang dilakukan dengan kondisi tertentu sehingga pernikahan-pernikahan tersebut dapat dihapuskan di masa depan. Pada akhirnya, Gereja telah menolak, sejak awalnya, hukum-hukum pemerintahan yang sayangnya mendukung perceraian dan perpisahan.[32]
Setiap kali para Paus tertinggi itu telah menentang para pangeran yang paling berkuasa, yang menuntut dengan ancaman-ancaman terhadap Gereja, untuk mempermaklumkan perceraian-perceraian yang mereka laksanakan, Kami harus pula menyatakan bahwa mereka telah mendukung keamanan baik dari agama maupun umat manusia. Untuk alasan ini, semua keturunan manusia akan mengagumi bukti-bukti dari keberanian yang pantang mundur yang dapat ditemukan di dalam dekret-dekret Nikolas I terhadap Lothaire; dekret-dekret Urbanus II dan Paskalis II terhadap Philippe, raja Prancis; dekret-dekret Selestinus III dan Inosensius III terhadap Alfonso dari León dan Philippe II, raja Prancis; dekret-dekret Klemens VII dan Paulus III terhadap Henry VIII, dan pada akhirnya dekret-dekret Pius VIII yang amat suci dan pemberani terhadap Napoleon I, yang menjadi congkak oleh karena keberhasilannya dan keagungan kekaisarannya.
Dengan demikian, semua orang yang memerintah dan mengatur Negara, yang berkehendak untuk mengikuti aturan-aturan akal budi dan hikmat, dan ingin menjaga kebaikan rakyatnya, harus bertekad untuk menjaga secara utuh hukum-hukum suci pernikahan; dan untuk mempergunakan pertolongan yang telah dianugerahkan oleh Gereja, demi menjaga keamanan moral dan kebahagiaan keluarga, dan bukan untuk mencurigai Gereja atas maksud kebencian dan menuduhnya secara salah dan tidak adil bahwa Gereja melanggar hukum sipl.
Gereja tidak melawan, tetapi banyak menolong kuasa sipil
Mereka harus melakukan hal ini dengan lebih siap, sebab walaupun Gereja Katolik sama sekali tidak mampu meninggalkan tugas-tugas dari jabatannya atau kewajibannya untuk membela otoritasnya, Gereja tetap amat cenderung menunjukkan kebaikan dan pengampunan, sewaktu integritas dari hak-haknya dan kesucian dari tanggung jawabnya tidak diancam. Maka, Gereja tidak pernah membuat dekret tentang Pernikahan tanpa memandang Negara dan masyarakat, dan kondisi rakyat; dan telah lebih dari satu kali meringankan, sejauh mana memungkinkan, keketatan dari hukum-hukumnya jika terdapat sebab yang berat dan adil. Selain itu, Gereja juga menyadari dan tidak pernah meragukan, bahwa Sakramen Pernikahan, yang telah diinstitusikan untuk melestarikan dan memperbanyak umat manusia, memiliki suatu hubungan yang pasti terhadap keadaan-keadaan hidup, yang, walaupun berhubungan dengan pernikahan, merupakan bagian dari aturan sipil, dan yang tentangnya Negara dengan benar membuat pemeriksaan yang ketat dan mempermaklumkan dekret-dekret yang adil.
Keselarasan antara kedua pihak ini sangat diinginkan
Tetapi, tidak seorang pun meragukan bahwa Yesus Kristus, Pendiri Gereja, menghendaki agar kuasa sucinya berbeda dari kuasa Sipil, dan agar tiap-tiap dari kuasa tersebut bebas dan tidak terkekang di dalam lingkupnya masing-masing. Tetapi, terdapat satu persyaratan sebagai berikut: suatu kondisi yang baik bagi keduanya, dan bermanfaat bagi semua orang adalah agar persatuan dan keselarasan harus selalu dijaga antara keduanya. Selain itu, dalam permasalahan yang, walaupun dalam cara-cara yang berbeda, merupakan bagian dari hak dan otoritas bersama, kuasa yang kepadanya hal-hal sekuler telah dipercayakan harus bergantung, sebagaimana mestinya, kepada kuasa yang kepadanya telah dipercayakan hal-hal surgawi. Dalam pengaturan dan keselarasan semacam itu, bukan hanya terdapat aturan bertindak yang terbaik bagi masing-masing kuasa, tetapi juga metode yang paling layak dan ampuh untuk membantu manusia di dalam segala hal yang berkenaan dengan hidup di dunia ini, dan untuk harapan keselamatan mereka setelahnya. Sebab, seperti yang telah Kami tunjukkan di dalam Ensiklik-Ensiklik Kami yang terdahulu, intelek dari manusia amat teragungkan oleh iman Kristiani dan dibuat lebih mampu untuk menghalau dan mengusir segala kesalahan, sedangkan iman sendiri memperoleh bantuan yang besar dari intelek; dan demikian pula, sewaktu kuasa Sipil bersahabat dengan otoritas Gereja, keduanya mendapatkan kegunaan yang besar. Martabat yang satu diangkat, dan selama agama adalah pemandunya, kuasa sipil tidak akan pernah memerintah dengan tidak adil; sedangkan kuasa Gereja menerima bantuan perlindungan dan pembelaan demi kebaikan publik dari umat beriman.
Sri Paus menawarkan kerjasamanya kepada para penguasa temporal
Maka, tergerak oleh pertimbangan-pertimbangan ini, Kami kembali dengan sungguh mendorong, seperti yang telah Kami lakukan di dalam keadaan-keadaan yang lain kepada semua pemimpin Negara, untuk membuat keharmonisan dan persahabatan dengan Gereja. Dan Kami menjadi yang pertama untuk mengulurkan tangan Kami kepada mereka dengan kebaikan yang kebapakan, dan menawarkan kepada mereka bantuan otoritas tertinggi Kami – suatu pertolongan yang sangat dibutuhkan di masa ini, sewaktu, di hadapan opini publik, otoritas para penguasa terluka dan telah melemah. Pada masa ini, di mana pikiran banyak orang telah terbakar oleh semangat kebebasan yang sembrono, dan manusia dengan jahatnya berupaya untuk meniadakan segala batasan dari otoritas, betapapun legitimnya otoritas itu, keamanan publik menuntut kedua kuasa untuk mempersatukan kekuatan mereka untuk menghalau kejahatan-kejahatan yang bukan hanya mengancam Gereja, tetapi juga masyarakat Sipil.
Sri Paus sungguh menasihati semua uskup untuk menuntut umat beriman agar mereka selalu ingat akan asal Ilahi pernikahan, martabat, kesatuan, dan kelangsungan supernaturalnya
Sambil sungguh-sungguh menyarankan keselarasan kehendak ini, dan dengan berdoa kepada Allah, pangeran kedamaian, untuk mengilhami semua manusia akan cinta akan keharmonisan, Kami tidak dapat mencegah diri Kami, Saudara-Saudara yang Terhormat, untuk semakin mendorong, oleh nasihat-nasihat Kami, tindakan anda, semangat anda, dan kewaspadaan anda, yang Kami tahu begitu besar. Gunakanlah seluruh upaya anda, seluruh otoritas anda, agar, dari antara orang-orang yang dipercayakan kepada perhatian anda, tiada sesuatu pun yang datang untuk mengubah atau menyesatkan doktrin yang Tuhan kita Yesus Kristus dan para rasul-Nya, para penafsir dari kehendak surgawi, telah sampaikan kepada kita, yang telah dijaga oleh Gereja Katolik dengan giat dan yang ingin disaksikan oleh Gereja untuk dipraktikkan oleh semua umat Kristiani dan di sepanjang masa.
Hendaknya perhatian khusus diberikan agar orang-orang diajarkan dengan baik akan asas-asas hikmat Kristiani, agar mereka selalu ingat bahwa pernikahan tidaklah diinstitusikan oleh kehendak manusia, melainkan, sejak awalnya, oleh otoritas dan perintah Allah; bahwa pernikahan tidak memperbolehkan kemajemukan istri atau suami; bahwa Kristus, Pencipta dari Perjanjian Baru, meninggikannya dari hukum alam menjadi sebuah sakramen, dan memberikan kepada Gereja-Nya kuasa legislatif dan yudisial sehubungan dengan ikatan persatuan. Tentang poin ini, mereka harus diajarkan dengan perhatian yang terbesar, agar pikiran mereka tidak dituntun kepada kesesatan oleh kesimpulan-kesimpulan yang menipu dari para musuh yang menghendaki agar Gereja harus dirampas dari kekuatannya.
Demikian pula, semua orang harus mengerti dengan jelas bahwa, jika terdapat persatuan dari seorang pria dan wanita di antara umat beriman Kristus yang bukan suatu Sakramen, persatuan semacam itu tidak memiliki keabsahan dan kodrat dari pernikahan sejati; bahwa walaupun dikontrakkan sesuai dengan hukum-hukum Negara, persatuan itu tidak dapat menjadi lebih dari suatu ritus atau kebiasaan yang diperkenalkan oleh hukum Sipil. Tetapi, hukum sipil hanya dapat mengatur dan mengelola hal-hal yang, dalam aturan sipil, merupakan konsekuensi dari pernikahan. Bagaimanapun, konsekuensi-konsekuensi tersebut tentunya tidak dapat terjadi jika tidak terdapat sebabnya yang benar dan legitim, yakni, ikatan perkawinan. Para pasangan memiliki kepentingan yang amat besar untuk mengenali dan mengerti dengan baik semua hal ini, agar mereka dapat patuh kepada hukum-hukum Negara, jika tidak terdapat penolakan dari pihak Gereja; sebab Gereja menghendaki agar hasil-hasil Pernikahan dijaga di dalam segala hal, dan agar tidak terjadi bahaya yang dapat datang untuk mengancam anak-anak.
Di tengah-tengah kebingungan yang besar akibat opini-opini yang semakin merajalela setiap harinya, harus diketahui pula bahwa tidak seorang pun memiliki kuasa untuk mematahkan ikatan suatu pernikahan yang telah dipermaklumkan dan dikonsumasikan; dan bahwa, oleh karena itu, para suami dan istri bersalah atas kejahatan yang terang-terangan jika mereka berencana, atas alasan apa pun, untuk bersatu di dalam suatu pernikahan kedua sebelum pernikahan yang pertama telah diakhiri oleh kematian. Memang, sewaktu permasalahan telah sampai ke dalam suatu tingkatan tertentu sehingga tampaknya tidak lagi mungkin bagi mereka untuk hidup bersama, maka Gereja mengizinkan mereka untuk hidup secara terpisah, dan berjuang pada waktu yang bersamaan, untuk memperlunak kejahatan dari perpisahan ini dengan obat dan bantuan yang sesuai dengan keadaan mereka. Tetapi, Gereja tidak pernah berhenti untuk berjuang untuk mendatangkan suatu perdamaian, dan tidak pernah putus asa untuk melaksanakannya. Tetapi, ini adalah kasus-kasus yang ekstrem; dan kasus-kasus ini akan jarang terjadi jika pria dan wanita masuk ke dalam keadaan pernikahan dengan kelakuan-kelakuan yang layak, tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu, setelah menimbang dengan matang tanggung jawab para pasangan dan tujuan yang amat mulia dari pernikahan; tidak pun mereka akan menantikan pernikahan mereka untuk dipenuhi berbagai macam dosa yang menjatuhkan kepada diri mereka murka Allah.
Untuk merangkum semua ini dalam kata-kata yang singkat: akan terjadi kestabilan dan kedamaian yang bahagia dari keluarga sewaktu para pasangan menimba kekuatan dan hidup dari kebajikan agama sendiri, yang menanamkan dalam diri kita tekad dan keteguhan; sebab agama akan membuat mereka dapat menanggung dengan tenang dan bahkan dengan sukacita cobaan-cobaan dalam keadaan hidup mereka: misalnya, kekurangan-kekurangan yang mereka temukan dalam diri satu sama lain, perbedaan watak dan temperamen, beratnya tanggung jawab seorang ibu, kegelisahan tentang pendidikan anak-anak, nasib buruk, dan dukacita hudup.
Pernikahan beda agama harus dihindari
Harus juga dipastikan agar mereka tidak dengan mudah memasuki Pernikahan dengan orang-orang yang bukan Katolik; sebab sewaktu pikiran tidak bersetuju sehubungan dengan ketaatan terhadap agama, hampir tidak mungkin untuk mengharapkan adanya persetujuan dalam hal-hal lain. Alasan-alasan lain yang juga membuktikan bahwa orang-orang harus menghindari dengan rasa takut pernikahan-pernikahan semacam itu terutama adalah sebagai berikut: bahwa pernikahan-pernikahan semacam itu menuntun orang untuk berpartisipasi dalam persekutuan serta komunikasi dalam hal-hal keagamaan yang terlarang. Persatuan tersebut menciptakan suatu bahaya terhadap iman dari pasangan Katolik; dan merupakan halangan terhadap pendidikan anak-anak yang baik; dan sering kali menuntun kepada pencampuradukan kebenaran dan kesesatan, dan kepada kepercayaan bahwa semua agama sama baiknya.
Pada akhirnya, karena Kami tahu dengan baik bahwa tiada seorang pun yang boleh terasing dari kasih Kami, Kami memercayakan, Saudara-Saudara yang Terhormat, kepada otoritas anda, kepada iman anda, dan kepada kesalehan anda orang-orang yang malang yang, terbakar oleh api hawa nafsu dan sepenuhnya melupakan keselamatan mereka, hidup dengan jahat bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah. Hendaknya perhatian anda yang terbesar dilaksanakan untuk membawa orang-orang semacam itu kembali kepada tanggung jawab mereka; dan, baik oleh upaya-upaya anda sendiri dan oleh para pria baik yang akan setuju untuk membantu anda, berjuang dengan segala cara agar mereka dapat melihat betapa salahnya tindakan mereka itu; agar mereka dapat melakukan penitensi; dan agar mereka dapat terdorong untuk memasuki pernikahan yang sah sesuai dengan ritus Katolik.
Anda akan segera melihat, Saudara-Saudara yang Terhormat, bahwa doktrin dan asas-asas sehubungan dengan Pernikahan Kristiani yang telah Kami nilai pantas untuk diberikan kepada anda lewat surat ini, memiliki kegunaan yang sama besarnya untuk kelestarian masyarakat sipil dan untuk keselamatan kekal jiwa-jiwa. Semoga Allah menganugerahkan agar, oleh beratnya dan pentingnya hal-hal tersebut, semua benak dapat menjadi taat dan siap untuk mematuhi doktrin dan asas-asas ini! Untuk tujuan ini, marilah kita semua berdoa dengan rendah hati untuk memohon pertolongan Perawan Maria yang Terberkati dan Tidak Bernoda. Semoga ia menjadi Ibunda dan Penolong semua manusia, dengan mendorong hati kita agar taat kepada iman. Marilah pula berdoa dengan semangat yang sama kepada Petrus dan Paulus, para pangeran dari para rasul, yang menghancurkan bidah, para penabur benih kebenaran, untuk menyelamatkan umat manusia oleh perlindungan mereka yang kuasa dari banjir kesesatan yang sedang muncul kembali.
Sementara itu, sebagai jaminan dari karunia surgawi, dan suatu kesaksian dari kebaikan Kami yang khusus, Kami menganugerahkan kepada anda semua, Saudara-Saudara yang Terhormat, dan orang-orang yang dipercayakan kepada tanggung jawab anda, dari lubuk hati Kami, Berkat Apostolik.
Diberikan di Roma, di Gereja Santo Petrus, 10 Februari 1880, tahun kedua dari Kepausan Kami.
LEO XIII, PAUS
Catatan kaki:
Surat Ensiklik Arcanum diterbitkan oleh Paus Leo XIII pada tanggal 10 Februari 1880.
Diterjemahkan dari:
[1] Efesus i. 9, 10.
[2] Matius xix. 5, 6.
[3] Matius xix. 8.
[4] St. Hieronimus, Epist. 77, 3 PL 22, 691.
[5] Arnobius, Adversus Gentes, 4.
[6] Dionysius Halicarnassus. Lib. ii. c. 26, 27
[7] Yohanes ii.
[8] Matius xix. 9.
[9] Conc. Trid., sess. XXIV, in principio
[10] Conc. Trid., sess. XXIV, cap. 1, De reformatione matrimonii.
[11] Efesus v. 25-32.
[12] 1 Korintus vii. 10, 11.
[13] 1 Korintus vii. 39
[14] Efesus v. 32.
[15] Ibrani xiii. 4.
[16] Efesus ii. 19.
[17] Catech. Rom., c. XXVII, IV.
[18] Efesus v. 23, 24.
[19] Efesus vi. 4.
[20] Kisah Para Rasul xv. 29.
[21] I Korintus v. 5.
[22] St. Hieronimus, Epist. 77 PL 22, 691.
[23] Apud fideles et infideles existere sacramentum conjugii. (Penyunting.)
[24] Epistola ad Polycarpum, cap. 5 PG 5, 723-724
[25] Apolog. Maj., 15 PG 6. 349A. B
[26] Legat. Pro Christian., 32, 33 PG 6, 963-968
[27] De coron. milit., 13 PL. 2, 116
[28] Trid. sess. xxiv. Can. 4, 12.
[29] Pius VI, Epist. ad episc. Lucion., 20 Mei 1793; Pius VII, surat ensiklik 17 Februari 1809 dan Konstitusi 19 Juli 1817 ; Pius VIII, surat ensiklik 29 Mei 1829 ; Gregorius XVI, konstitusi 15 Agustus 1832 ; Pius IX; alokusi 22 September 1852.
[30] Conc. Trid., sess. XXIV, can. 5 et 7.
[31] Konsili Florence dan instruksi Eugenius IV kepada orang-orang Armenia, Benediktus XIV, konstitusi Etsi Pastoralis, 6 Mei 1742.
[32] St. Hieronimus, Epist. 69, ad Oceanum PL 22, 657; St. Ambrosius, Lib. 8 in cap. 16 Lucae, n. 5 PL 5, 1857; St. Agustinus, De nuptiis, 1, 10, 11 PL 44, 420.
Artikel-Artikel Terkait
Bunda maria yang penuh kasih... doakanlah kami yang berdosa ini ....
Thomas N. 2 bulanBaca lebih lanjut...Halo – meski Bunda Teresa dulu mungkin tampak merawat orang secara lahiriah, namun secara rohaniah, ia meracuni mereka: yakni, dengan mengafirmasi mereka bahwa mereka baik-baik saja menganut agama-agama sesat mereka...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Tentu saja kami ini Katolik. Perlu anda sadari bahwa iman Katolik tradisional itu perlu untuk keselamatan, dan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik (Muslim, Protestan, Hindu, Buddhis, dll.) TIDAK masuk...
Biara Keluarga Terkudus 3 bulanBaca lebih lanjut...Terpuji lah Tuhan allah pencipta langit dan bumi
Agung bp 3 bulanBaca lebih lanjut...apakah anda katolik benaran?
lidi 3 bulanBaca lebih lanjut...Saat bunda teresa dengan sepenuh hati merawat dan menemani mereka dalam sakratul maut saya percaya kalau tindakan beliau secara tidak langsung mewartakan injil dan selebihnya roh kudus yang berkenan untuk...
bes 4 bulanBaca lebih lanjut...Ramai dibahas oleh kaum protestan soal soal Paus Liberius. Trimakasuh untuk informasinya
Nong Sittu 4 bulanBaca lebih lanjut...Halo kami senang anda kelihatannya semakin mendalami materi kami. Sebelum mendalami perkara sedevakantisme, orang perlu percaya dogma bahwa Magisterium (kuasa pengajaran Paus sejati) tidak bisa membuat kesalahan, dan juga tidak...
Biara Keluarga Terkudus 6 bulanBaca lebih lanjut...Materi yang menarik. Sebelumnya saya sudah baca materi ini, namun tidak secara lengkap dan hikmat. Pada saat ini saya sendiri sedang memperdalami iman Katolik secara penuh dan benar. Yang saya...
The Prayer 6 bulanBaca lebih lanjut...Santa Teresa, doakanlah kami
Kristina 7 bulanBaca lebih lanjut...